PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN DAN PENGEDARAN UANG DI INDONESIA
Dinamika kehidupan masyarakat dewasa ini, telah melahirkan pola pemikiran baru yang turut berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Ketika mekanisme pembayaran dituntut untuk selalu mengakomodir setiap kebutuhan masyarakat dalam hal perpindahan dana secara cepat, aman dan efisien, maka inovasi-inovasi teknologi pembayaran semakin bermunculan dengan sangat pesat. Memberikan jawaban dengan berbagai fasilitas kemudahan dan semakin tiada batas. Bank Indonesia dituntut untuk selalu memastikan bahwa setiap perkembangan sistem pembayaran harus selalu berada pada koridor ketentuan yang berlaku. Hal ini tentu saja demi kelancaran dan keamanan jalannya kegiatan sistem pembayaran.
Berkaca pada kondisi tersebut, dan patut diingat bahwa perkembangan sistem pembayaran tidak pernah terpisahkan dengan inovasi-inovasi infrastruktur teknologi, maka perkembangan sistem pembayaran di Indonesia saat ini mengarah pada upaya penguatan infrastruktur dan pengembangan sistem dengan bertopang pada kemajuan teknologi informasi. Industri pembayaran baik yang melibatkan bank maupun lembaga selain bank berlomba-lomba melakukan pengembangan sistem pembayarannya. Bahkan saat ini peranan lembaga selain bank (LSB) di dalam penyelenggaraan sistem pembayaran semakin nyata dengan semakin banyaknya LSB yang melakukan kerjasama dengan perbankan baik sebagai penyedia jaringan dan tidak menutup kemungkinan sebagai penerbit dari instrumen-instrumen pembayaran tersebut. Bank Indonesia sebagai penyelenggara kegiatan setelmen transaksi-transaksi melalui Sistem Bank Indonesia (BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dan Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) juga terus berupaya memperbaiki dan memperbaharui mekanisme sistem yang ada agar selalu efisien, aman dan sejalan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang. Ke semuanya itu nantinya akan mengarah kepada persiapan teknologi pembayaran Indonesia dalam menghadapi rencana integrasi ekonomi global di kawasan ASEAN pada tahun 2015 (MEA) yang juga menjadi faktor pendorong penguatan infrastruktur dan pengembangan sistem yang bernilai besar sampai kepada ritel.
Masyarakat pun dihadapkan pada berbagai macam pilihan instrumen pembayaran. Uang tunai tetap menjadi primadona dalam setiap kegiatan transaksi pembayaran. Namun instrumen pembayaran berbasis kertas paper based dan juga card based serta electronic based juga tak kalah menariknya dan semakin menjadi pilihan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi. Tren pergeseran dari penggunaan paper based instrument seperti cek dan bilyet giro ke penggunaan card based dan electronic based instrument terlihat dari semakin terbiasanya masyarakat menggunakan alat pembayaran seperti kartu kredit, kartu ATM/Debet, transfer elektronik melalui kliring dan Real Time Gross Settlement (RTGS), Scripless Securities Settlement System (SSSS), uang elektronik baik yang berbentuk kartu(card based) maupun server based, pembayaran melalui saluran internet banking mobile payment dan fitur-fitur turunan lainnya. Walaupun tak dapat dipungkiri, ada segmen masyarakat tertentu yang masih atau lebih nyaman menggunakan cek/Bilyet Giro (BG).
Penguatan infrastruktur tersebut tercermin dimana Bank Indonesia sebagai penyelenggara sistem pembayaran mulai mengoperasikan layanan setelmen Payment-versus-Payment (PvP) pada Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS). Layanan penyelesaian setelmen dari transaksi jual beli valuta asing khususnya United States Dollar (USD) terhadap Indonesian Rupiah (IDR) dilakukan secara bersamaan. Hal ini untuk menghindari terjadinya risiko kegagalan setelmen pada saat pertukaran nilai uang dilakukan. Selain itu dengan kecenderungan transaksi pembayaran ke depan yang semakin tiada batas sudah barang tentu memunculkan kebutuhan likuiditas yang semakin tinggi bagi para pelaku ekonomi, antara lain munculnya ragam derivasi produk keuangan global dan hilangnya batasan wilayah ekonomi regional yang digagas melalui MEA maupun kerjasama regional lainnya. Selain PvP, penguatan infrastruktur lainnya adalah penyatuan penyelenggaraan fungsi setelmen surat berharga BI-SSSS ke dalam penyelenggaraan fungsi sistem pembayaran dan setelmen di Bank Indonesia (Sistem BI-RTGS). Penyatuan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penyelenggaraan kegiatan setelmen dana dan surat berharga berikut infrastruktur dan sumber daya manusia yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas layanan Bank Indonesia kepada stakeholders terkait.
Tak ketinggalan di sisi ritel, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang merupakan sistem kliring. Penyempurnaan SKNBI dilakukan untuk meminimalkan risiko kredit pada kliring debet. Penerapan prinsip no money no game pada proses penghitungan kliring debet yang baru, menuntut bank untuk selalu menjaga kecukupan pendanaan awal agar dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban tagihan pembayaran dari bank lainnya. Hal ini mendorong bank peserta kliring untuk melakukan pengelolaan likuiditasnya secara lebih baik dan efisien. Masih di sisi pembayaran ritel, perkembangan industri pembayaran ritel diarahkan kepada penciptaan interoperability antar sistem yang digunakan demi terciptanya keamanan dan efisiensi sistem pembayaran. Standardisasi nasional instrumen kartu ATM/Debet adalah salah satunya. Dilatarbelakangi oleh isu keamanan bertransaksi dalam menggunakan kartu ATM/Debet, penggunaan teknologi chip pada kartu ATM/Debet diyakini dapat meminimalkan timbulnya kejahatan fraud pada kartu ATM/Debet. Selain itu, interoperability antar sistem juga diciptakan pada penyelenggaraan uang elektronik. Dengan semakin maraknya penggunaan uang elektronik di masyarakat yang sampai akhir 2010 mencapai Rp693,5 milyar, maka interoperability dilakukan dengan mulai menciptakan uang elektronik berbasis chip yang multipurpose. Multipurpose yang artinya satu kartu dapat digunakan untuk melakukan transaksi di berbagai toko atau penyedia barang dan jasa.
Penguatan sistem pembayaran tidak hanya dari sisi infrastruktur saja. Bank Indonesia juga memperkuat kelembagaan industri pembayaran dengan mendirikan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) dan Asosiasi Penyelenggara Pengiriman Uang (APPUI). ASPI dan APPUI diharapkan mampu menjadi mitra strategis Bank Indonesia dalam mendorong kondisi dan perilaku pasar yang kompetitif. Keberadaan ASPI tersebut juga diharapkan dapat menjadi motor penggerak dan pendukung utama kebijakan penataan infrastruktur sistem pembayaran di Indonesia yang digulirkan Bank Indonesia.
Tak ketinggalan dan tak kalah pentingnya, perkembangan setiap sisi sistem pembayaran harus memperhatikan aspek perlindungan konsumen. Implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen yang telah memasuki tahun ke-9 sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara umum masih belum optimal dirasakan manfaatnya oleh konsumen yang merupakan bagian dari masyarakat, khususnya manakala melakukan kegiatan transfer dana. Maka dari itu, Pemerintah dan Bank Indonesia sebagai regulator sistem pembayaran menggarap serius Rancangan Undang-Undang Transfer Dana (RUU Transfer Dana) yang diajukan oleh Pemerintah sebagai bentuk landasan dan perlindungan hukum yang setara bagi setiap pihak yang terlibat dalam kegiatan transfer dana termasuk kegiatan transfer dana antara penyelenggara dengan nasabahnya. Diharapkan dengan adanya UU Transfer Dana, masyarakat dapat dengan nyaman dan aman melakukan setiap aktivitas transfer dana yang kian hari kian meningkat. Nilai dan volume transaksi transfer dana di seluruh sistem pembayaran sampai dengan akhir 2010 masing-masing sebesar Rp58,1 ribu triliun 2,1 miliar transaksi.
Namun di sisi lain, di tengah-tengah perkembangan teknologi yang demikian pesat, tidak sedikit pula masyarakat Indonesia yang lebih memilih melakukan pembayaran dengan menggunakan uang tunai. Budaya dan latar belakang masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih belum terjamah dengan produk-produk perbankan (remote area) maupun tidak merasa nyaman dengan teknologi pembayaran yang sarat akan isu keamanan, menjadikan uang tunai tetap menjadi primadona dalam setiap kegiatan transaksi pembayaran.
Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan uang kartal di masyarakat yang sampai dengan akhir 2010 mencapai Rp274,0 triliun. Hal ini merefleksikan masih banyaknya masyarakat yang memilih menggunakan uang kartal untuk keperluan transaksi ekonomi. Masih cukup tingginya kebutuhan masyarakat terhadap uang Rupiah perlu dibarengi dengan perencanaan kebutuhan dan pengadaan uang secara komprehensif termasuk ketepatan realisasinya; penyempurnaan unsur pengaman uang; kecepatan dan ketepatan layanan kas; kelancaran dan keamanan distribusi uang ke seluruh satuan kerja kas baik di KP dan KBI secara tepat waktu; serta optimalisasi pengelolaan uang kartal.
Strategi kebijakan pengedaran uang pada tahun 2010 diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kehandalan pengedaran uang dan penyempurnaan kualitas uang, yang meliputi pemenuhan uang, optimalisasi layanan kas, pengelolaan uang dan pendistribusiannya, serta peningkatan pengamanan elemen dan unsur pengaman uang, serta kelayakan uang yang beredar di berbagai wilayah termasuk di daerah terpencil dan terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai kebijakan di bidang pengedaran uang tersebut tetap mengacu pada tiga pilar manajemen pengedaran uang yaitu 1) ketersediaan uang Rupiah yang berkualitas, 2) layanan kas prima, dan 3) pengedaran uang yang aman, handal, dan efisien.
Terkait dengan pengkinian unsur pengaman uang, pada tahun 2010 Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas pecahan Rp10.000 desain baru dan uang logam pecahan Rp1.000. Selain itu, upaya penanggulangan uang palsu tetap dilakukan baik secara preventif melalui berbagai sosialisasi dan edukasi keaslian uang Rupiah maupun secara represif melalui kerjasama dengan POLRI dalam meningkatkan koordinasi satuan tugas (satgas) pengungkapan kasus tindak pidana uang palsu dan saksi ahli.
Perilaku masyarakat untuk menyimpan uang logam hoarding menyebabkan perputaran uang logam di masyarakat maupun tingkat pengembalian uang logam ke perbankan dan Bank Indonesia menjadi terhambat. Untuk mengoptimalkan pengedaran/perputaran uang logam di masyarakat dan sebagai upaya perwujudan perlindungan konsumen, pada tanggal 31 Juli 2010 Bank Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementrian Perdagangan Republik Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), menandatangani Memorandum of Understanding atau Nota Kesepakatan tentang pencanangan kegiatan Gerakan Peduli Koin Nasional.
Mempertimbangkan potensi peningkatan kegiatan pengedaran uang, prioritas arah kebijakan Bank Indonesia di bidang pengedaran uang tersusun dalam tiga rancangan kebijakan yaitu 1) peningkatan kualitas uang yang beredar di masyarakat dan pemenuhan permintaan uang sesuai dengan jenis pecahan yang dibutuhkan oleh masyarakat/perbankan; 2) peningkatan efektivitas operasional kas di Bank Indonesia dan perbankan; serta 3) pengembangan layanan kas Bank Indonesia dengan mengikutsertakan peran perbankan dan instansi terkait.
Strategi untuk meningkatkan efektivitas operasional kas di Bank Indonesia ke depan dilakukan antara lain dengan menyempurnakan sistem dan prosedur layanan kas yang bersifat customer oriented dan pengembangan sistem informasi layanan kas. Sementara itu pengembangan layanan kas diarahkan pada peningkatan kegiatan kas keliling dan kas titipan di daerah terpencil dan terdepan NKRI.
Memperhatikan berbagai isu strategis tersebut, maka Kebijakan BI selama tahun 2010 difokuskan pada upaya untuk meningkatkan kehandalan uang Rupiah dan penyempurnaan kualitas uang dengan tetap mengacu pada tiga pilar manajemen pengedaran uang yaitu 1) Ketersediaan uang Rupiah yang berkualitas, 2) Layanan Kas Prima, dan 3) Pengedaran Uang yang aman, handal, dan efisien.
Dalam rangka mendukung ketersediaan uang Rupiah yang berkualitas, beberapa penerapan kebijakan meliputi penyusunan rencana kebutuhan uang termasuk rencana pengadaan dan realisasi pengadaan uang dan bahan uang, yang diikuti dengan pendistribusian uang ke berbagai wilayah secara tepat waktu. Selain itu terkait dengan pengkinian unsur pengaman uang, BI mengeluarkan dan mengedarkan Uang Kertas pecahan Rp10.000 desain baru dan uang logam pecahan Rp1.000. Clean money policy merupakan kebijakan BI untuk menjaga kualitas uang yang diedarkan melalui kegiatan pemusnahan uang dan melakukan pencabutan uang logam pecahan Rp25. Dari sisi penanggulangan uang palsu, BI tetap mengupayakan intensifikasi dan ekstensifikasi strategi komunikasi melalui sosialisasi dan edukasi ciri keaslian uang Rupiah kepada masyarakat baik secara langsung, melalui media, dan kerjasama dengan intansi terkait, karena terbukti cukup efektif dalam meningkatkan pemahaman masyarakat. Secara represif, dilakukan kerjasama dengan POLRI dalam meningkatkan koordinasi satuan tugas (satgas) pengungkapan kasus tindak pidana uang palsu dan saksi ahli.
http://www.bi.go.id/id/sistem-pembayaran/di-indonesia/perkembangan/Contents/Default.aspx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar